Hanya saja, potensi kecerdasan
atau keunikan itu sering kali tidak teraktualisasikan seiring dengan
waktu dan tempat di mana seseorang itu tinggal. Lingkungan keluarga dan
sekolah dengan metode pembelajarannya justru sering sekali ”membenamkan”
potensi seorang siswa. Tidak jarang, pembelajaran di sekolah baik
secara langsung atau tidak, menghasilkan persepsi keliru pada siswa:
”Akulah siswa yang pantas gagal!” atau ”Akulah anak paling bodoh di
kelas ini!”
Ketika sebuah pembelajaran
menghasilkan persepsi keliru seperti itu yang kemudian siswa meyakininya
bahwa dirinya adalah ”anak bodoh” selama persepsi itu belum dirubah,
selama itu pula potensi unik siswa sulit untuk berkembang. Persepsi
keliru itu tersimpan di pikiran bawah sadar (batin) si anak yang menjadi
operating system perilaku dirinya: begitu menghadapi soal yang sedikit sulit saja, ia segera menggunakan operating system-nya ”bahwa aku anak bodoh yang tidak mungkin mengerjakan soal seperti itu”.
Bagaimana merubah persepsi keliru itu? NLP atau neuro linguistic programming
adalah cabang ilmu psikologi kognitif yang mempelajari dan memberikan
sejumlah alat untuk merubah persepsi keliru. Dengan pendekatan NLP
seseorang dapat merubah pola pikir keliru menuju pola pikir yang benar,
dan memberdayakan diri. NLP memberikan sejumlah tools, agar persepsi keliru tentang dirinya dan tentang orang lain benar-benar memberayakan, bukan menjerumuskan.
Map is not Territory
Dalam NLP dikenal sebuah asumsi yang popular, map is not territory,
peta bukanlah wilayah itu sendiri atau persepsi bukanlah realitas itu
sendiri. Perssepsi adalah apa yang kita bayangkan dan rasakan dalam
benak kita. Apa yang kita bayangkan berbeda dengan objek itu sendiri.
Apa yang kita bayangkan atau persepsikan tergantung pada pengalaman
subjektif kita. Contoh kata ”Gagal”, masing-masing orang berbeda
menafsirkannya, ada yang menafsirkannya berarti ”menyerah dan tidak ada
upaya lagi” namun bagi orang yang bermental sukses berarti,
”melipatkangandakan komitmen untuk bangkit lagi”.
Map is not territory,
berarti juga segala sesuatu di luar pikiran (objek) itu netral adanya,
hanya pikiran yang membuat makna. Contoh, apabila suatu pagi yang cerah
Anda mendapatkan seonggok tas kresek (tas plastik) di halaman
depan rumah. Anda penasaran ingin tahu apa isinya. Setelah dibuka,
ternyata kotoran sapi! Dan berlebel ”Kiriman tetangga sebelah”. Anda
marah? Boleh jadi apalagi tetangga itu sudah dikenal reseh dan suka usil. Namun demikian, boleh jadi tidak marah alih-alih mengucapkan
”Alhamdulillah” kotoran itu untuk dijadikan pupuk bunga di halaman
belakang. Yang ingin saya katakan bahwa barangnya atau objeknya sama
yakni tas kresek berisi kotoran sapi, namun marah atau tidaknya
sangat tergantung pada pikiran kita dalam memberikan makna atau
persepsi pada objek itu.
Map is not territory dapat diartikan pula “peta menentukan wilayah”. Pengertian
ini berbeda dengan pengertian di bidang geografi yang berarti “wilayah
menentukan peta”. Peta dalam pengertian NLP berarti “apa yang
dipersepsikan” menentukan “tindakan”. Marah atau tidaknya seserorang
terhadap tas kresek tadi tegantung apa yang dipersepsikan. Bila Anda menganggap sebagai bentuk ”penghinaan” Anda bisa marah namun bila menganggap sebagai ”pupuk”, Anda akan bersyukur.
Intinya manusia
bertindak berdasarkan persepsinya, berdasarkan apa yang ada dalam
benaknya, bukan bertindak karena objek-itu sendiri. Sebab, sekali lagi,
objeknya tetap tetapi setiap orang punya persepsi yang berbeda terhadap
objek itu.
Anatomi Pembodohan
Kenapa seorang
siswa menjadi bodoh? Secara genetik mungkin iya. Namun, menurut hemat
saya, lebih banyak karena persepsi yang keliru atau persepsi negatif si
anak terhadap dirinya sendiri. Tidak sedikit siswa yang secara potensial
itu cerdas tetapi karena menganggap (persepsi) yang keliru menjadikan
dirinya terperangkap dalam pembodohan diri. Bila seorang anak terlanjur
menganggap dirinya bahwa ”anak kampung”, ”anak gembel”, ”anak cacad”,
”anak tidak bakat”, bodoh”, dan persepsi negatif lainnya, maka selama
itu pula ia tidak bisa berkembang karena terbelenggu oleh persepsinya
sendiri.
Dari mana persepsi keliru itu
terjadi? Dari lingkungan, sekolah, keluarga, dan orang-orang sekitar
seperti guru, orang tua dan teman sebaya yang secara intens
mempengaruhinya. Lingkungan adalah pembentuk atau programer bagi diri
siswa yang paling berpengaruh. Misal, suatu ketika seorang siswa tidak
dapat mengerjakan PR (pekerjaan rumah) lantas dimarahi sambil
diamaki-maki ”Kamu bodoh!” oleh orang tua, saudara dan teman kelasnya,
maka di situlah mulai bersemi dalam benaknya, ”bahwa aku anak bodoh!”
Kata ”bodoh” itu sendiri netral, dan hanya lima huruf. Kata itu tidak bernyawa dan apa adanya. Namun,
bila kata itu diucapkan dengan intonasi tepat (seperti mamaki), dalam
intensitas emosional yang tinggi dan ditujukan pada seorang anak, maka
si anak mulai membuat makna, mulai membuat persepsi bahwa dirinya adalah
”anak bodoh”. Makian yang intens atau terlalu sering ditambah
pengalaman seorang anak yang memang sering salah dalam mengerjakan
PR-nya, maka di situlah muncul perubahan status ”persepsi bodoh” menjadi
”keyakinan bahwa dirinya benar-benar bodoh”.
Apabila persepsi sudah menjadi keyakinan (belief system)
di batin siswa maka keyakinan inilah yang akan menjerumuskan hidupnya.
Kalau seorang anak sudah terlanjur yakin bahwa dirinya adalah anak
bodoh, sudah memvonis diri bahwa dirinya tidak pantas sukses, ia menjadi
anak pesimis atau anak yang tidak percaya bahwa dirinya secara
potensial itu cerdas. Contoh, bila ada seorang siswa yang sudah merasa
bahwa dirinya tidak bakat Bahasa Inggris, meski diberi kesempatan kursus
gratis pun ia akan menolak!
Di dalam diri siswa, dalam
pikiran bawah sadar siswa banyak bersemayam keyakinan negatif,
penghambat kemajuan belajar. Dalam pikiran bawah sadar siswa atau batin
siswa banyak file negatif atau virus-virus yang merusak dan
menghambat berkembangnya potensi diri. Dimulai dari merasa bodoh, merasa
tidak percaya diri, pesimis, hingga muncul rasa takut untuk mencoba dan
takut bertanya kepada guru. Apabila virus-virus itu tetap dibiarkan, maka pembodohan diri sedang berlangsung.
Bangun Prestasi Kecil Harian
Sekali lagi saya tekankan bahwa segala sesuatu (objek) di luar pikiran itu netral
adanya, hanya pikiran –karena pengalaman subjektifnya—yang membuat
persepsi. Seseorang menjadi marah atau malah berterimah kasih karena tas
kresek berisi kotoran, karena pengalaman subjektifnya. Seorang
siswa merasa bodoh juga karena pengalaman subjektifnya yakni sering
dimaki bodoh dan punya banyak pengalaman mengerjakan PR tidak bisa
misalnya.
Lebih dari itu sesungguhnya kenapa seseorang sampai terperangkap dalam persepsi negatif? Karena ia memaknainya secara negatif. Ia membingkai pengalamannya secara negatif atau keliru. Kalau segala sesuatunya (objek) adalah netral maka sesungguhnya seseorang
memiliki pilihan: membingkai persepsinya secara negatif atau positif.
Apabila seorang siswa setiap saat mendapatkan pengalaman buruk (dimaki
bodoh pada saat tidak dapat mengerjakan PR) membingkainya secara negatif
maka yang muncul kemudian adalah keyakinan negatif (dirinya bodoh).
Sebaliknya apabila ia membingkainya secara positif, maka beda hasilnya
yakni makian bodoh justru diartikan sebagai pemicu untuk membuktikan
bahwa dirinya adalah anak pintar. Ia bebas memilih, bingkai mana yang
hendak digunakan.
Meskipun demikian, adalah tidak
mudah untuk memilih bagi seorang anak. Ia cenderung membingkai
pengalamanya secara negatif saat dimaki-maki. Sebab, pada umumnya
anak-anak khususnya pada saat masih SD, ketika dimaki secara intens
bahwa ia bodoh, ia langsung mempercayainya. Pikiran kritisnya belum
mampu menolak bahwa misalnya, ia memang bodoh di bidang matematika,
tetapi ia cerdas di bidang bahasa, seni atau yang lain. Sepanjang tidak
ada orang lain yang memberi tahu bahwa ia sesungguhnya anak cerdas di
bidang seni dan bahasa, atau ia sesungguhnya bisa matematika asal tekun
dan sabar, maka persepsi negatif tetap terbingkai menjadi keyakinan
keliru. Singkatnya, guru hendaknya membantu membingkai ulang agar siswa
tidak terjerumus dalam persepsi keliru/keyakinan keliru.
Caranya, bangun keyakinan baru
bahwa sesungguhnya ia pun cerdas. Bangun pemahaman baru tentang dirinya
bahwa ia bukan anak bodoh agar mulai mucul rasa percaya diri. Upayakan
ia memiliki prestasi kecil harian, seperti mampu mngerjakan PR, mampu
tepat waktu, mampu bertanya, mampu menulis karangan kecil, mampu membuat
kerajinan, mampu memenangkan lomba-lomba tingkat kelas dan lain-lain. Demikian juga orang tuanya, harus memberikan kesempatan padanya untuk berpresatasi kecil di rumah.
Semakin sering seorang anak
mampu menciptakan prestasi harian, rasa percaya dirinya naik. Persepsi
tentang dirinya bodoh lambat laun mulai terkikis. Sampai akhirnya ia
memiliki persepsi yang benar atas dirinya seperti; ”Kalau
orang lain bisa aku juga bisa”, ”Aku bisa matematika asal tekun”, ”Aku
agak lambat dalam memahami matematika tetapi cepat dalam pelajaran
bahasa” dan lain-lain. Pada akhirnya, ia akan berjanji pada dirinya,
”Aku ingin membuktikan pada dunia bahwa aku bisa!”. Optimisme yang
dibangun berdasarkan prestasi harian akan mampu menghancurkan
virus-virus penghambat kemajuan anak.
Melalui prestasi harian itu,
seorang anak akan memiliki keyakinan positif terhadap dirinya. Bila
keyakinan positif muncul, ia akn mengerjakan segala
sesuatunya dengan lebih baik (usahanya akan naik); bila naik usahanya
maka naik pula hasilnya, bila naik maka keyakinannya pun naik dan
seterusnya. Sampai di sini saya ingin mengatakan bahwa keyakinan positif
akan menghancurkan segala bentuk virus pembodohan diri.
Bangkitlah anak Indonesia, Anda bisa!
0 komentar:
Posting Komentar