Suatu
hari, Abu Darda berjalan bersama para sahabatnya. Di tengah jalan, ia
melihat seorang pendosa. Para sahabatnya yang lain mencaci orang itu.
Lalu
Abu Darda berkata, ‘Bagaimana menurut kalian jika kalian menemukan dosa
itu pada hati kalian, apakah kalian akan mengeluarkannya?’
Mereka
menjawab, ‘Tentu saja’
Abu
Darda berkata, ‘Makanya, janganlah kalian mencaci saudara kalian.
Sebaiknya pujilah Allah karena Dia-lah yang telah menyelamatkan kalian
dari dosa’.
Mereka
bertanya, ‘Apakah engkau tidak membenci orang itu?’
Abu
Darda menjawab, ‘Innama ubghidhu amalahu, fa idza tarokahu fa huwa
akhi -sesungguhnya yang aku benci adalah perbuatannya. Jika ia
sudah meninggalkan perbuatannya, maka ia tetap saudaraku’.
Lain
lagi dengan Ibnu Masud. Ia pernah berkata, ‘Jika kalian melihat
seseorang melakukan perbuatan dosa, maka janganlah kalian ikut-ikutan
menjadi backing syetan terhadap orang itu, dengan mengatakan,
‘Ya Allah, balaslah perbuatannya. Ya Allah, laknatlah ia. Namun,
mohonlah kepada Allah agar kalian mendapatkan afiat
(keselamatan dari dosa). Sesungguhnya kita ini, para sahabat Nabi,
tidak akan mengatakan sesuatu terhadap seseorang sampai kita tahu tanda
kematiannya. Jika akhir hidup orang itu ditutup dengan kebaikan, maka
tahulah kita bahwa ia sudah mendapat kebaikan. Jika hidup orang itu
berakhir dengan keburukan, maka kita menjadi takut mendapat yang seperti
itu’.
Begitulah
sikap mulia Abu Darda dan Ibnu Masud dalam menyikapi pelaku dosa.
Padahal kalau dilihat dari persfektif kesucian pribadi mereka, tentu
saja keduanya lebih pantas untuk mencaci para pelaku dosa. Sebagaimana
kita ketahui, Abu Darda adalah sahabat Rasulullah yang terkenal dengan
figur yang rajin ibadah. Begitu pula dengan Ibnu Masud, yang punya suara
indah, yang membuat Rasulullah menangis ketika mendengar Ibnu Masud
membaca al-Quran di hadapannya. Bukan hanya itu, meskipun Ibnu Masud
punya betis yang kecil, namun jika nanti ditimbang pada hari Kiamat,
maka berat betisnya yang kecil itu akan melebihi beratnya Bukit Uhud.
Ini menjadi tanda bahwa pemilik betis itu adalah orang mulia.
Lain
lagi dengan orang yang bernama Abu Dujanah. Suatu hari ia sakit. Para
sahabat yang lain datang menjenguknya.
Yang
mengherankan, meskipun wajahnya pucat akibat sakit yang dideritanya,
wajah Abu Dujanah tetap memancarkan cahaya.
Para
sahabat bertanya, ‘Ma li wajhika yatahallalu? – Apa yang
membuat wajahmu senantiasa bercahaya?’
Abu
Dujanah menjawab, ‘Ada dua amal yang selalu aku pegang teguh dalam hidup
ini. Pertama, aku tidak pernah berbicara dengan sesuatu yang kurang
bermanfaat. Kedua, hatiku selalu menilai sesama Muslim dengan hati yang
tulus’.
Abu
Darda, Ibnu Masud, dan Abu Dujanah menjalani hidup sesuai hati mereka,
bukan sesuka hati mereka. Tentu saja, ada beda antara hidup SESUAI hati
dengan hidup SESUKA hati.
Setiap hati akan bercerai-berai, kecuali hati yang saling mencinta atas dasar kecintaan kepada Allah, dan surga adalah tempat yang paling pantas untuk bersatunya hati seperti ini…
0 komentar:
Posting Komentar