Kesuksesan Dari Modal Rp200 Ribu Menjadi Rp200 Juta/Bulan
Erwina Kusmarini tak pernah berpikir menjadi pengusaha. Salah satunya karena harus merawat ibu mertua. Namun, justru itulah yang menjadikannya pengusaha busana muslim sukses.
Pengabdian. Mungkin itulah yang membuat Tuhan membukakan jalan rezeki
yang begitu mudah bagi Erwina Kusmarini atau akrab disapa Wiwin. Betapa
tidak, saat memutuskan pindah ke Klaten untuk merawat ibu mertuanya
yang sepuh dan sakit-sakitan, dia harus rela menanggalkan statusnya
sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Pergumulan Wiwin dan suaminya Wahyudi Nasution, yang akrab disapa
Yudi, dengan dunia konveksi diawali pada Mei 2004. Waktu itu, pasangan
Wiwin dan Yudi memutuskan menetap di Klaten dengan alasan merawat orang
tua Yudi yang telah sepuh dan sakit-sakitan.
Ibunda Yudi bernama Asiyah Sahrowardi akhirnya meninggal dunia 1
Februari 2009 pada usia 85 tahun setelah sakit keras selama satu bulan.
Di kota ini, dengan modal sebuah mesin jahit dan uang Rp200 ribu,
Wiwin mulai membuka usaha jahit di rumah mertuanya yang terletak di
Dusun Kwaon, Desa Jemawan, Kecamatan Jatinom, Klaten, sekira 6 km dari
Kota Klaten ke arah Boyolali, Jawa Tengah.
Sebagai usaha baru, apalagi belum dikenal, perjuangan meyakinkan
pelanggan agar mau menjahitkan baju di usaha konveksinya diakui Erwina
cukup berat.
Terlebih waktu itu dia juga memiliki anak yang masih kecil. Alhasil,
urusan jahit-menjahit baru bisa dilakukan setelah semua tugas rumah
tangga tuntas. Wiwin baru mulai menjahit sekira pukul 23.00 WIB hingga
hari berikutnya.
Setelah magrib, dia baru tidur bersama anaknya, kemudian pukul 23.00
WIB dia bangun dan mulai menjahit lagi. Menjelang Ramadan 2004, dia
mendapat pesanan jilbab dari seorang teman. ‘’Waktu itu saya hanya
diberi contoh gambar-gambar jilbab Ratih Sang yang katanya sedang tren
di Yogya,” kenang Wiwin.
Wanita yang juga akrab disapa Bunda ini memperhatikan gambar itu
dengan saksama, mempelajari kemungkinan potongan dan jahitannya. Lalu,
dia mencoba mewujudkan gambar-gambar itu.
Ada 10 jilbab yang dipesan waktu itu. Erwina harus putar otak mencari
modal untuk membeli kain. Akhirnya, dia meminjam uang sebesar Rp200
ribu pada Budenya. Setelah jilbab jadi, Wiwin mendapatkan uang sebesar
Rp250 ribu.
“Saya langsung mengembalikan uang Bude dan yang Rp50 ribu saya
belikan kain untuk membuat jilbab lagi,” ungkap alumnus Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada ini.
Setelah itu, pesanan mengalir. Pasangan ini pun terpaksa harus
bekerja hingga larut malam menjelang pagi. Kerja keras itu mereka lakoni
hingga lima bulan. “Baru setelah itu kami mampu merekrut seorang
karyawan dan kami juga dapat pinjaman mesin obras,” papar Wiwin.
Kini, setelah enam tahun dirintis, usaha konveksi dengan nama merek
dagang Bunda Collection itu telah mampu memproduksi 3.200-4.000 jilbab
dengan omzet Rp200 juta per bulan dan jumlah pekerja harian 80 orang,
belum termasuk 100 pekerja borongan lainnya.
Produk Bunda Collection dapat dijumpai pada beberapa butik di
Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang, Boyolali, Bukittinggi, dan
lain-lain. Melalui agen di Bandung, produk jilbab Bunda Collection
bahkan telah menemukan pasar di Australia, Singapura, Malaysia, dan
Brunei Darussalam.
”Jika ada merek jilbab Bunda Collection Anda temui di toko-toko atau
pasar-pasar itu adalah brand usaha kami,” terang Wiwin tentang sukses
usahanya.
Salah satu keunggulan Bunda Collection hingga diterima pasar dan
mampu bersaing dengan merek lain yang sudah ada di pasar-pasar terletak
pada orisinalitas desain, pilihan bahan, dan komposisi warnanya yang
padu. Kekuatan lainnya juga terletak pada keunikan aksen-aksennya (sulam
benang, sulam pita, payet, bunga-bunga aplikasi, dan lain sebagainya).
Hasil sentuhan tangan terampil (hand-made) dari 80 tenaga kerja
membuat produk Bunda Collection tampak unik sehingga para pemakainya
dapat tampil lebih anggun, cantik, dan “beda”.
“Desain, pemilihan warna, dan pembelian bahan ditangani saya,” tutur
Wiwin. Selain jilbab, Bunda Collection juga memproduksi mukena, bandana,
dan berbagai aksesori busana muslim.
Setiap mukena produksi Bunda Collection dipasarkan dengan harga Rp55
ribu-Rp140 ribu per satuan. Adapun untuk jilbab harganya berkisar antara
Rp35 ribu-Rp95 ribu per potong. Sekira 20 persen merupakan margin
keuntungan.
Kendati begitu, Yudi mengaku bahwa sebagian besar keuntungan tersebut
masih dipakai untuk mengangsur kredit yang sempat dipergunakan sebagai
modal usaha. “Kami dapat pinjaman Rp225 juta dari BNI Syariah selama
tiga tahun,” katanya.
Dengan semakin memasyarakatnya pakaian muslim, Wiwin dan Yudi
berkeinginan terus memajukan usahanya. Jika awalnya Wiwin hanya
memfokuskan pada pembuatan jilbab dan bandana, pada 2008 dia mulai
memproduksi mukena dewasa dan anak-anak.
2010 ini dia mulai memproduksi busana muslimah berciri khas
modifikasi lurik Klaten dan daur ulang sampah plastik. ”Tapi ikon kami
tetap jilbab cantik,” katanya.
Selain itu, mereka juga berencana membuat workshop dan membeli mesin.
Tujuannya, selain untuk membesarkan usaha, langkah ini juga sebagai
langkah awal dari impiannya untuk menjadikan Jatinom, Klaten, sebagai
sentra busana muslim.
“Saya memimpikan desa kami jadi sentra produksi busana muslim. Dengan
begitu, kami bisa membantu mengatasi persoalan pengangguran di Klaten,”
Yudi mengungkapkan cita-citanya.
Untuk bisa mewujudkan rencananya itu,Yudi memperkirakan dibutuhkan
modal hingga lebih dari Rp1 miliar. Namun, lagi-lagi modal menjadi
persoalan. “Kami tak punya aset untuk diagunkan. Aset kami paling
berharga hanyalah SDM (sumber daya manusia),” kata Yudi.
Add caption |
Di tengah kisah sukses yang diraihnya saat ini, Wiwin mengaku kerap tak kuasa menitikkan air mata ketika melihat ke belakang. Waktu mereka pindah, suaminya yang seorang seniman juga baru saja melepas pekerjaannya. Banyak juga yang menyangsikan keputusannya.” Tapi,Tuhan memang punya skenario sendiri,” tuturnya.
0 komentar:
Posting Komentar